Suatu ketika ada teman saya yang baru menikah punya masalah ketika dia tinggal di rumah mertuanya (Orangtua dari suaminya). Sebagai menantu di rumah itu tentunya tidak semudah yang kita pikirkan. Dibutuhkan kedewasaan dalam menyikapi setiap permasalahan yang mungkin muncul akibat interaksi antara mertua dan menantu. Dia mengalami ketidak nyamanan di dalam menghadapi mertua dan saudara/i suaminya.
Dan saya rasa tulisan di bawah ini bisa menolong dan tentunya berguna bagi pembaca lainnya.
-----------------
Syalom, Apa kabar kalian dua dek? Terimakasih telah kasih info ke abang. Kami baik-baik saja.
Berikut ada beberapa hal yang abang sampaikan terkait dengan “JIKA KITA TINGGAL DIRUMAH ORANGTUA” dalam hal ini orangtua pihak laki-laki.
Alasan-alasan untuk tinggal dirumah orangtua:
- Pasangan itu bekerja di tempat itu dan belum ada dana untuk menyewa/beli rumah
- Belum ada rumah ditempat itu untuk disewa atau dibeli
- Orangtua sakit dan tidak ada yang merawat
- Permintaan khusus orangtua karena tidak ada lagi teman di rumah itu (biasanya orangtua itu sudah janda/duda)
Sebagaimana pernah abang sampaikan dalam perkumpulann, bahwa setelah dipersatukan oleh Tuhan dalam pernikahan kudus, maka sejak saat itu telah terbentuk lembaga rumahtangga yang baru, yang setara dengan rumah tangga kedua orangtua meraka masing-masing. Telah terbentuk Kepala rumah tangga yang baru dan ibu rumahtangga yang baru.
Yang menjadi pertanyaan, apa yang terjadi jika dalam satu rumah ada dua kepala rumah tangga atau dua ibu rumahtangga?
Adalah hal yang biasa terjadi anak yang baru menikah tinggal serumah dengan orangtua pihak laki-laki. Ini banyak kita jumpai. Ada yang bertahan sampai lama, ada yang bertahan hanya sebentar. Masalah sering terjadi antara ibu mertua dan menantu perempuan. Menantu perempuan seringkali harus menahan sakit hati, tertekan, terpojok, merasa selalu diamati, dinilai, dan dipersalahkan. Atau sebaliknya Mertua yang harus makan hati, jengkel, tertekan, merasa disepelekan, tidak dihormati dan lain sebagainya. Apalagi dilihatnya menantunya itu malas, tidak punya inisiatif, selalu harus dikasihtau/disuruh dulu baru dikerjakan, tidak bisa mengambil hati orangtua dll. Di sisi lain, si anak (suami) akan sering merasa ragu dalam bersikap dan menentukan kebijakan atau keputusan. Karena di rumah itu dia adalah anak, meskipun sebenarnya dia sudah menjadi kepala rumah tangga yang baru. Dia akan selalu menjaga dua perasaan, yaitu perasaan istri dan perasaan orangtua plus anggota keluarga yang tinggal serumah. Hal-hal di atas bisa saja terjadi akibat:
- Mertua melihat bahwa menantunya ini tidak bisa memberi sesuatu yang benar menurut dia dalam melayani anakya. Seperti masalah makanan, minuman, penyapaan/penyambutan, menyuci, atau menyetrika baju anaknya. Dia merasa bahwa cara dia selama ini dalam melayani anaknya adalah satu-satunya cara yang benar untuk melayani anaknya. Sehingga jika menantu melakukan yang tidak sesuai dengan kebiasaan ini, dia akan tidak senang, dan merasa anaknya ditelantarkan. Padahal belum tentu anaknya tidak menyukai itu, bahkan mungkin menikmati itu bersama-sama dengan istrinya. Karena pada prinsipnya kedua suami istri yang baru itu, akan bersama-sama belajar dan saling melengkapi dalam segala hal, baik dari segi makanan, minuman, pakaian, penyapaan, dan lain sebagainya sampai mereka berdua menemukan metode dan gaya yang tepat untuk keluarga mereka. Sebab di dalam rumahtangga itu terjadi sebuah proses penyesuaian dua perbedaan.
- Mertua merasa menjadi saingan dari menantu untuk mendapatkan perhatian dari anak laki-lakinya. Ini bisa saja terjadi, yang selama ini si Ibu/orangtua selalu mendapat perhatian dari si Anak, bahkan juga masalah uang/gaji si anak yang kapan saja bisa diminta oleh orangtua. Namun sekarang tidak bisa lagi seperti dulu, harus sepengetahuan si menantu, atau melalui menantu. Ini memang bisa jadi masalah. Demikian juga dengan keluarga lain serumah saudara/I dari si laki-laki memiliki potensi untuk berperasaan seperti orangtua tadi.
- Satu sisi si laki-laki akan membela istrinya. Pada saat itu si Orangtua akan merasa diabaikan lagi. Atau sebaliknya Jika laki-laki membela orangtuanya maka si istri akan sakit hati. Disini si Suami akan mengalami dilema.
- Permasalahan baru yang timbul tentang “Siapa yang menjadi Kepala rumah tangga atau Ibu rumah tangga” di rumah tersebut.
Memang, jika kita tinggal dirumah orangtua pihak laki-laki, maka kepala rumah tangga adalah ayah laki-laki itu, dan ibu rumah tangga adalah ibu laki-laki itu. Kecuali sudah ada kesepakatan dan kesefahaman di kedua belah pihak. Tetapi jika orangtua dari pihak laki-laki tinggal dirumah kita (pasangan baru) maka kepala rumahtangga adalah si suami, dan ibu rumahtangga adalah si istri. Ini harus saling bisa diterima.
Berikut beberapa poin-poin penting yang perlu diperhatikan:
- Memang yang paling tepat sebagaimana Alkitab mengatakan bahwa mereka harus berpisah dari orangtua, Laki-laki akan meninggalkan orangtuanya dan perempuan juga akan meninggalkan orangtuanya (kej 2:24).
- Orangtua harus merelakan anak-anak mereka untuk membentuk dan membangun rumahtangga mereka sendiri dengan cirikhas mereka sendiri.
- Jika memang harus tinggal di rumah orangtua laki-laki, maka suami-istri dan kedua orangtua harus duduk bersama, komunikasi, bagaimana yang harus dilakukan, peranan masing-masing apa, siapa pengambil keputusan, dan lain sebagainya yang perlu dalam rumah tangga itu.
- Suami-istri harus sehati-sepikir dalam menyelesaikan problem-problem yang terjadi dan harus terbuka satu sama lain.
- Sebagai istri (karena paling sering tidak sefaham dengan mertua perempuan) harus bersikap rendah hati, sabar dan bijaksana dalam setiap tindakan. Dan yang terpenting dari semua itu HARUS MENGASIHI DAN MENYAYANGI mertuanya seperti orangtua kandung sendiri. Ketika mereka mengetahui bahwa kita menyayangi mereka, maka kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan kita akan tidak begitu dipermasalahkan mereka ( Firman Tuhan: KASIH MENUTUPI BANYAK KESALAHAN).
- Jika ada pertengkaran, maka berdiam diri lebih baik daripada melawan dengan tertengkar.
- Sebagai orang yang baru dirumah itu, cari tau dari suami atau istri apa-apa yang menjadi kesukaan dan keinginan dari mertua supaya kita cepat bisa menyesuaikan diri.
- Suami harus membimbing dan menolong si Istri dalam proses penyesuaian diri kepada keluarga besarnya.
- Suami harus berani mengambil keputusan-keputusan dalam menentukan masa depan keluarganya yang baru dibentuknya.
Kapankah sebaiknya berpisah rumah dari orangtua?
- Ketika baru menikah dan sudah siap menatl (biasanya jika sudah siap menikah sudah siap mental)
- Ketika suami-istri itu sudah sanggup menyewa atau membeli rumah
- Ketika pindah pekerjaan yang jaraknya jauh dari rumah orangtua.
- Ketika menurut pengamatan dan perasaan kita bahwa rumah tangga kita terlalu membebani orangtua.
- Ketika kita bersama milihat di depan ada bahaya yang mengancam kerukunan rumah tangga dengan status tinggal di rumah orangtua. Artinya jangan sampai kejadian dulu baru bertindak.
Ketika laki-laki dan perempuan dipersatukan dalam pernikahan kudus, itu berarti bahwa mereka sudah siap untuk berpisah dari orangtua. Dalam hal ini si Suami sebagai kepala rumahtangga yang baru harus siap dengan berani dan penuh kasih menyampaikan ini kepada orangtuanya. Dan dialah yang paling tepat untuk menyempaikannya.
Usahakan jangan menunggu terjadi dulu perselisihan baru akan minta pisah, karena ini bisa membuat ketidak nyamanan dalam keluarga. Jika memang harus pisah, maka usahakan membuat/melakukan yang terbaik di rumah orangtua kita. Termasuk perhatian dan kasih kepada mereka. Supaya ketika kita berpisah, tidak meninggalkan akar-akar pahit.
Berikan alasan yang tepat bagi kedua orangtua mengapa kita harus pindah rumah sendiri . Ini akan membuang prasangka-prasangka negativ dari mereka.
Sampaikan kepada mereka bahwa kita senang tinggal dengan mereka, tetapi kita ingin mandiri dan tidak tergantung sepenuhnya kepada orangtua dalam membangun dan membina rumah tangga kita sendiri. Kita mau belajar berumahtangga dan sampaikan bahwa kita nantinya membutuhkan biimbingan dan nasehat mereka ketika kita membina rumahtangga yang baru itu. Dan memang itu seharusnya sudah menjadi rencana sebelum menikah yang juga diketahui atau diberitahukan kepada orangtua.
Pisah rumah dari orangtua bukan berarti kita tidak mengasihi dan mencintai mereka. Justru sebaliknya, pisah rumah akan semakin menambah kasih sayang diantara kedua belah pihak. (tidak salah memang ungkapan orang-orang dulu: molo jonok bau, molo dao angur – kalau jauh harum baunya). Jangan menggunakan alasan-alasan lain yang tidak bisa mereka terima, seperti:
- Kami segan tinggal serumah dengan bapak/ibu…..
- Istri saya (parumaen/menantu) tidak betah tinggal di rumah ini…
- Kami sering bertengkar dengan ibu, adik-adik dll….
- Kami jadi beban/tanggungan bapak/mama di rumah ini….
- Kami jadi akar permasalahan di rumah ini….
Karena-hal-hal diatas bisa menyebabkan masalah dan kekurangenakan dibelakang hari.
Jangan menyampikannya seakan-akan keputusan itu baru dibuat atau dadakan, tetapi bahwa memang dari sebelumnya sudah direncanakan.
Jadi kerjasama dan keterbukaan suami istri sangat dibutuhkan dalam hal ini jika mereka tinggal serumah dengan orangtua. Istri harus terbuka kepada suami mengenai keberadaannya dan perasaannya, dan suami juga harus terbuka dan perhatian kepada keadaan emosional dan jiwa si istri selama dirumah itu, serta bersama-sama mengambil keputusan yang tepat.
Semoga keluarga kalian rukun dan damai selalu. Ini masih permulaan-permulaan di dalam mengarungi bahtera rumahtangga. Akan banyak pelajaran lain yang akan kita hadapi baik dalam suka maupun duka. Yang pasti KASIH suami-istri yang kuat akan berhasil menyeberanginya di dalam landasan Kasih Tuhan.
Syalom,
Ev.Harles lumbantobing
KLIK ARSIP untuk melihat tulisan lainnya di Daftar... ARSIP...